Pada tanggal 28 September 2015 kemarin, PT Kereta Api Indonesia (Persero) tepat berulang tahun ke 70 tahun. Usia yang terbilang tidak muda lagi mengingat panjangnya sejarah perkeretaapian di Indonesia. Namun di satu sisi, usia ke 70 memiliki makna baik terutama membangun sistem perkeretaapian yang jauh lebih baik dari yang ada saat ini.
Kereta api di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Perubahan dari berbagai aspek mulai dilakukan oleh para direksi/petinggi PT KAI (Persero). Tetapi ada satu misi khusus yang harus segera dilakukan oleh KAI yaitu kembali menghidupkan 'rel mati'.
Kereta api di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Perubahan dari berbagai aspek mulai dilakukan oleh para direksi/petinggi PT KAI (Persero). Tetapi ada satu misi khusus yang harus segera dilakukan oleh KAI yaitu kembali menghidupkan 'rel mati'.
Dokumentasi PT KAI
Pulau Jawa memiliki banyak persebaran rel kereta api yang sudah mati, alias tidak lagi beroperasi. Padahal rute rel kereta api tersebut memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat, ada sekitar 3.343 kilometer (km) jalur kereta yang sudah lama tidak dipergunakan, dari total 8.159 km atau sekitar 40%. Sehingga diperlukan upaya kerja keras dan investasi cukup besar untuk menghidupkan kembali 3.343 km rel kereta api 'mati'. Mayoritas kondisi rel 'mati' tersebut rusak parah.
Salah satu jalur mati melewati Stasiun Bondowoso/Dokumentasi PT KAI
Kabar baiknya adalah, Kemenhub mulai memetakan jalur rel mati mana saja yang akan dihidupkan. Selama 2015-2019 bakal ada 438 km rel mati yang akan diaktifkan lagi dengan kebutuhan dana Rp 12 triliun. Ke 438 km rel mati tersebut adalah:
Padang Panjang – Bukit Tinggi – Payakumbuh (Sumbar)
Muaro Kalaban – Muaro (Sumbar)
Tanjung Karang – Pelabuhan Panjang (Lampung)
Cilegon – Anyer Kidul (Banten)
Rangkasbitung – Labuan – Saketi – Bayah (Tahap I ( (Banten)
Cangkring – Pelabuhan Cirebon (Jabar)
Banjar – Pangandaran – Cijulang (Jabar)
Purwokerto – Wonosobo (Jateng)
Semarang – Pelabuhan Tanjung Emas (Jateng)
Jombang – Babat – Tuban (Jatim)
Kalisat – Panarukan (Jatim)
Binjai – Besitang (Sumut)
Pariaman – Naras (Sumbar)
Naras – Sungai Limau (Sumbar)
Rancaekek – Tanjung Sari (Jabar)
Tanjung Sari – Kertajati (Jabar)
Cirebon – Kadipaten (Jabar)
Kedung Jati – Tuntang (Jateng)
Yogyakarta – Magelang (Yogyakarta – Jateng)
Perkotaan Surabaya (Tram) (Jatim)
Namun ada sejumlah rel 'mati' lain yang dianggap memiliki potensi dan bernilai ekonomi yang wajib kembali dihidupkan. Umumnya rel-rel yang telah 'mati' merupakan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda khususnya dibangun oleh Staatsspoorwegen atau perusahaan kereta api negara. Sebut saja jalur Bandung-Ciwidey yang sudah ada sejak tahun 1924 dibangun oleh Staatsspoorwegen kemudian ditutup tahun 1972.
Salah satu jembatan kereta api yang terbengkalai di Ciwidey/Dokumentasi PT KAI
Belum lagi jalur di Pulau Madura seperti Bangkalan-Kamal-Tanah Merah-Kwanyar-Balega-Sampang-Tanjung yang pembangunannya dimulai secara bertahap dari tahun 1898 hingga 1901 oleh Madoera Stoomtram Maatschappij (MT) tetapi ditutup tahun 1984. Penonaktifan jalur rel kereta api yang dianggap tidak ekonomis mulai ditutup secara bertahap oleh pemerintah pada tahun 1950-an. Sedangkan puncaknya terjadi pada tahun 1970 hingga 1980-an termasuk penutupan jalur tram Jakarta pada 1960-1962.
Jalur rel kereta api yang sudah ditutup umumnya pernah berperan membantu kehidupan ekonomi pelosok desa. Tengok saja jalur Kalisat-Panarukan sepanjang 69,5 Km di Jawa Timur. Jalur yang beroperasi sejak 1 Oktober 1897 dianggap penting terutama bagi kemajuan perekonomian Jawa bagian timur. Staatsspoorwegen menganggap jalur ini merupakan jalur tujuan ekspor terutama untuk mengangkut komoditas penting seperti gula, tembakau, kopi, beras, dan hasil perkebunan lainnya seperti teh yang dihasilkan dari Jember, Banyuwangi, Bondowoso, serta Situbondo menuju ke Pelabuhan Panarukan untuk diekspor ke berbagai negara di Eropa. Sayangnya jalur Kalisat-Bondowoso harus ditutup tahun 2004 karena dinilai tidak ekonomis.
Stasiun Panarukan tidak terawat/Dokumentasi PT KAI
Penutupan jalur rel kereta api yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomi dimulai dari pengembangan transportasi berbasis jalan raya yang dikembangkan pemerintah. Padahal jalur rel kereta api tersebut berjasa membangun desa yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru sejak 1971. Namun faktanya justru jalur-jalur kereta api di pelosok pedesaan Jawa yang sangat membantu aktivitas ekonomi warga banyak yang diabaikan. Warga dipaksa memilih angkutan barang seperti menggunakan colt dan truk yang harganya jauh lebih mahal.
Rel bersejarah yang tertinggal di jalur Ciwidey/Dokumentasi PT KAI
Kini jalur rel kereta api yang telah 'mati' tinggal menjadi kenangan. Beberapa jalur rel 'mati' bahkan sudah berubah fungsi menjadi rumah, bangunan beton hingga tertutup jalan raya. Meski demikian rel-rel yang telah 'mati'ini menjadi saksi bisu pembantu perkembangan masyarakat desa. Tetap berdiri walau sudah tidak dibutuhkan. Walaupun demikian kita tetap harus merawatnya untuk pengetahuan anak cucu kita bahwa kereta api pernah berjaya di pelosok Jawa.
Ada tambahan lagi bekas jalan kereta api, yakni jalan kereta api yang dahulu ada di Karawang yaitu : Karawang-Lamaran-Rengasdengklok, Karawang-Lamaran-Wadas-Cikampek-Cilamaya
BalasHapus