Rencana
menghidupkan rel ‘mati’ di Pelabuhan Tanjung Priok sudah muncul sejak 5 tahun
yang lalu. Sayangnya rencana yang digagas oleh PT Kereta Api Indonesia
(Persero) tersebut belum pernah terwujud karena berbagai kendala.
Jalur
kereta api yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini terhenti di Jalan
Pasoso atau tepatnya 200 meter di luar dermaga Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal
rel kereta api di dalam kawasan Pelabuhan Tanjung Priok (hingga ke dermaga) sudah
ada dan merupakan warisan pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1899.
Perusahaan
kereta api milik negara Staatsspoorwegen telah menginisiasi pembangunan jalur
kereta api di Batavia khususnya di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Pembangunan
jalur lingkar (ceinturbaan) kereta
api oleh Staatspoorwegen (SS) pada 1899-1900 semakin mempermudah akses warga
kota dan sekitarnya yang melakukan perjalanan kapal laut melalui Tanjung Priok
atau para pelancong yang baru tiba di pelabuhan menuju Batavia. Bahkan pada awal beroperasinya jalur lingkar,
tercatat ada 20 perjalanan kereta api (40 perjalanan pp) per hari rute Tanjung
Priok-Batavia dan Tanjung Priok-Kemayoran.
Selain itu Staatsspoorwegen juga
membangun rel kereta api hingga masuk ke dalam dermaga Pelabuhan Tanjung Priok.
Tujuannya tidak lain yaitu mempermudah aktivitas arus bongkar muat barang.
Kemudian tujuan lain dibangunnya rel kereta api hingga ke dalam dermaga
Pelabuhan Tanjung Priok adalah mengangkut penumpang yang turun langsung dari
kapal laut sehingga dapat langsung menaiki kereta api dan diantarkan ke kota
Batavia juga Kemayoran. Dari Batavia dan Kemayoran (Kemajoran),
para penumpang kapal akan diantarkan kembali menuju Bogor (dahulu disebut
Buitenzorg) hingga Priangan dengan kereta api hanya untuk sekedar wisata.
Staatsspoorwegen membangun banyak
percabangan rel kereta api di dalam Pelabuhan Tanjung Priok. Rinciannya di
wilayah dermaga Shipping Canal atau sebelah barat Pelabuhan Tanjung Priok
terdapat 2 percabangan rel kereta api yang masuk hingga pinggir dermaga. Sedangkan
di Dermaga I terdapat 4 percabangan rel kereta api.
Catatan lainnya, di dermaga II
ada 3 percabangan rel, dermaga III terdapat 3 percabangan rel diteruskan hingga
dermaga IV yang memiliki 2 percabangan rel. Rel kereta api juga diteruskan
menyusuri ke wilayah Lagoa sebagai jalur pengiriman minyak milik Batavia
Petroleum Company. Cara yang dilakukan
Staatsspoorwegen adalah untuk mendukung aktivitas bongkar muat barang di Pelabuhan
Tanjung Priok. Pelabuhan ini mulai beroperasi sejak 1885 dengan
biaya pembangunan menelan dana hingga F 20,5 juta.
Pada perkembangannya yang
beroperasi tidak hanya terdiri dari rangkaian kereta api penumpang atau kereta
api khusus barang, namun ada pula rangkaian campuran keduanya. Biasanya dalam
satu perjalanan lokomotif menarik kereta penumpang dan gerbong barang.
Sebagai
catatan jumlah rangkaian gerbong barang yang ditarik justru lebih banyak
dibandingkan gerbong penumpang. Fakta pada saat itu, penumpang pribumi biasanya
ikut naik dan membawa barang-barang dagangan seperti sayuran dalam keranjang,
buah-buahan, hewan ternak (ikan, ayam dan kambing), barang kelontong, termasuk
benda-benda furnitur seperti meja, kursi, lemari hingga piano.
Rata-rata
penumpang semacam ini berangkat pagi hari dari daerah-daerah pinggiran seperti
Palmerah, Pasar Minggu, Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), Buitenzorg
(Bogor) untuk dijual di daerah-daerah di Batavia seperti Tanah Abang, Batavia
Stad, Pasar Ikan, Weltevreden (sekarang Gambir), Pasar Senen.
Kereta api di kawasan Tanjung
Priok terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Puncaknya terjadi di
tahun 1921 dimana kereta api mulai digerakkan dengan tenaga listrik. Adalah Kepala
penelitian Ir. Roelofsen yang mengeluarkan laporan hasilnya yaitu agar dibangun
jaringan kereta api listrik di lintas Staatsspoorwegen dalam kota Batavia dan
lintas Batavia-Buitenzorg di tahun 1917.
Setahun kemudian proposal itu
disampaikan kepada Dewan Hindia Belanda dan langsung mendapat persetujuan.
Realisasi awal adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Cicacih
dan Ciantan pada 1919. PLTA dibangun sebagai tenaga mutlak kereta api listrik.
Berdasarkan rencana, dari PLTA
tersebut arus listrik akan disalurkan dengan transmisi tegangan tinggi menuju
Pusat Tenaga Listrik (PTL) yang akan dibangun di Buitenzorg, Depok, Meester
Cornelis, dan Ancol. PTL penting dibangun karena untuk mengubah arus listrik
dari pembangkit listrik bertegangan 6000 volt AC (bolak-balik) menjadi 1500
volt DC (searah).
Setelah pembangunan PLTA hampir selesai, pada 1921 dimulailah
pemasangan konstruksi Listrik Aliran Atas (LAA) sepanjang Tanjung Priok-Meester
Cornelis (Jatinegara). Sayangnya pada tahun itu juga timbul krisis ekonomi di
Eropa yang berdampak ke negeri jajahannya. Untuk sementara elektrifikasi rel
kereta api hanya pada lintas Tanjung Priok-Meester Cornelis.
Pada akhir
1924, lintas perdana kereta api listrik selesai dikerjakan. Sebagai sarana
utama, Staatsspoorwegen membeli 20 unit kereta bermotor listrik dari Belanda.
Kedua puluh unit itu terdiri dari 10 kereta dirakit oleh N.V. Beynes di Haarlem
menggunakan mesin motor listrik dari General Electric, 5 kereta dirakit oleh
pabrik kereta api terkenal Werkspoor menggunakan motor listrik buatan
Westinghouse-Heemaf, 5 kereta sisanya dirakit oleh Allan & Co. di pabriknya
Rotterdam.
Selain itu Staatsspoorwegen juga memesan 7 macam sarana kerata api
listrik lainnya yaitu 2 lokomotif listrik tipe 1B+B1 dari Algemeine
Elektricitats Gesellschaft Berlin, 2 lokomotif listrik tipe 1A-A-A1 dari Brown
Beveri & Co. di Baden (Jerman), 2 kereta penumpang dan 1 lokomotif listrik
dari Werkspoor. Lokomotif
listrik batch pertama sudah tiba di Batavia pada 1924 dan Desember 1924 sudah melakukan uji coba.
Tags:
Belanda
Infrastruktur
Kereta Api
Kereta Nostalgia
Pelabuhan Tanjung Priok
Sejarah
Staatsspoorwegen