Setelah membaca kisah sejarah kereta api klasik di dalam negeri, kini saya mencoba suguhkan kisah yang jauh lebih menarik. Sebagai penghias dan mencoba mengingat kejadian masa lalu, teman-teman masih ingat dengan gerombolan para penumpang yang naik di atap Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek? Ya, tentu saja kita masih mengingat kejadian itu. Mereka dinamakan Atapers. Secara spesifik Atapers diartikan sebagai penumpang yang biasanya menumpang dengan menaiki KRL di atas gerbong dan kerap tidak memiliki tiket. Cara yang dilakukan Atapers tersebut jelas membahayakan, beresiko maut dan membuat citra perkeretaapian Indonesia menjadi buruk.
Maka di sinilah Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Ignasius Jonan kala itu (sekarang Menteri Perhubungan) berperan. Berbagai cara dilakukan agar penumpang tertib dan tidak lagi berdiri maupun duduk di atas gerbong KRL. Mantan Kepala Daop I PT KAI (Persero) Akhmad Sujadi menjelaskan kepada penulis bila adanya fenomena Atapers terjadi karena kontrol yang masih lemah serta adanya kesempatan berupa celah dimana Atapers bisa nyaman berdiri dan duduk di atas gerbong KRL.
Sujadi mengatakan bila dilihat secara teknis atap KRL Non AC lebih rendah dibandingkan KRL Ekonomi AC. Rendahnya atap KRL Ekonomi Non AC menjadi celah dan ruang yang aman bagi para Atapers memaksa diri untuk naik dan duduk bahkan tiduran di atas gerbong KRL. Meski dianggap aman dan nyaman bagi para Atapers, kegiatan ini tetap membahayakan dan rawan bagi penumpang tersengat arus listrik KRL. Sujadi mencatat sejak tahun 2008 hingga 2012 ada sekitar 24 korban tewas akibat tersengat listrik. Sayangnya para Atapers tidak kapok dan menghiraukan himbauan dari PT KAI.
Sujadi menceritakan, langkah PT KAI saat itu untuk mengurangi korban tewas para Atapers mulai dilakukan. Cara paling sederhana yaitu dengan memberikan peringatan persuasif dan mensosialisasikan bahaya bila duduk di atas gerbong KRL. Brosur dan spanduk ditempel pada seluruh stasiun yang dilewati KRL. “Bahkan sampai ceramah ustad hingga marawisan di stasiun,” kata Sujadi. Namun pada perkembangannya ternyata cara ini tidak mempan. Tidak kehabisan akal, PT KAI melakukan cara lain yaitu dengan menurunkan kawat trolly agar jarak atap KRL dengan LAA (Listrik Aliran Atas) lebih dekat. Namun cara ini diakui Sujadi hanya bertahan 2 hari. Hal itu karena adanya kasus seorang penumpang di Stasiun Cilebut tersengat listrik dan jatuh meski tidak meninggal dunia.
Plang penampar sebagai salah satu langkah PT KAI membasmi Atapers/foto istimewa
PT KAI tidak kehabisan akal dan menggunakan cara lain untuk menghilangkan Atapers. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengerahkan sejumlah petugas keamanan. Penumpang yang tertangkap didata, diajukan ke polisi, namun penertiban ini terbilang tidak efektif dan tidak bertahan lama karena petugas yang dikerahkan memiliki keterbatasan waktu juga ketersediaan anggaran yang terbatas.
Lalu Sujadi menceritakan setelah hasil rapat kordinasi Daop 1 Jakarta, telah menugaskan jajaran Kamtib untuk melakukan semprotan lagi. Kali ini teknik dan cara penyemprotannya sedikit berbeda dengan cara penyemprotan tahap pertama. Pada sebelumnya yaitu tahun 2008 alat semprot menempel pada orang dengan tangki digendong petugas keamanan.
Semprotan kali ini dipasang permanen seperti dipasang di perlintasan Kalibata pada awal Maret 2011. “Pertimbanganya tersedia air, listrik dan mudah terjangkau petugas keamanan,” seru Sujadi. Semprotan cairan berwarna tersebut langsung diarahkan ke Atapers. Cara ini berhasil tetapi sayangnya tidak bertahan lama karena Atapers kembali lagi melakukan rutinitas yang pernah ditinggalkan.
Lalu Sujadi menceritakan setelah hasil rapat kordinasi Daop 1 Jakarta, telah menugaskan jajaran Kamtib untuk melakukan semprotan lagi. Kali ini teknik dan cara penyemprotannya sedikit berbeda dengan cara penyemprotan tahap pertama. Pada sebelumnya yaitu tahun 2008 alat semprot menempel pada orang dengan tangki digendong petugas keamanan.
Semprotan kali ini dipasang permanen seperti dipasang di perlintasan Kalibata pada awal Maret 2011. “Pertimbanganya tersedia air, listrik dan mudah terjangkau petugas keamanan,” seru Sujadi. Semprotan cairan berwarna tersebut langsung diarahkan ke Atapers. Cara ini berhasil tetapi sayangnya tidak bertahan lama karena Atapers kembali lagi melakukan rutinitas yang pernah ditinggalkan.
Tidak hanya itu pengoperasian alat semprot permanen di
perlintasan KA juga mendapatkan aksi perlawanan dari para Atapers. “Gardu
PJL tempat memasang alat semprot dilempari batu, botol kaca, hingga olie
bekas,” kata Sujadi. Ketika naik ke atap penumpang telah siap dengan batu dan
berbagai macam benda agar mereka bisa melempari petugas. Perlakuan penumpang
ini tentu saja membuat panik penjaga pintu. Selain melempari petugas penjaga
pintu perlintasan, para Atapers juga terbilang cerdik dan tidak
kehilangan akal. Karena beberapa di antara mereka ada yang membawa payung atau
bahkan jas hujan untuk melindungi diri ketika melewati alat semprot. Sehingga
meskipun disemprot, baju yang merek kenakan tidak basah.
Puncak
perlawanan atas upaya PT KAI dengan menyemprot para Atapers terjadi pada tanggal 13 Maret
2011. Saat itu banyak para penumpang yang basah karena terkena semprotan cairan
berwarna dari Stasiun Kalibata. Para Atapers kemudian segera ditertibkan begitu
mereka sampai di Stasiun Manggarai, Jakarta. Namun apa yang terjadi? Justru
disinilah puncak perlawanan dari para Atapers. Para penumpang lain yang tidak
tertangkap marah saat mengetahui banyak para Atapers yang ditertibkan petugas. Akhirnya
kericuhan pun terjadi dan Stasiun Manggarai kena imbas yaitu dirusak oleh para Atapers.
Tidak mempan
juga, PT KAI lantas memberikan instruksi untuk memasang barier atau alat
penampar penumpang pada bulan Juni 2011. Alat yang kerap disebut pintu koboi
itu dibuat dari bahan sejenis fiber glass dengan tebal 1 cm, panjang 1,5-2
meter dan lebar 10 cm yang dipantek pada tiang lisrik.[1] Alat ini dipasang antara ketinggian
atap, posisi pantograf dan juga ketinggian penumpang di Stasiun Pasar Minggu
Baru, Duren, Stasiun Kalibata dan Stasiun Tebet pada lintas jalur
Jakarta-Bogor. Karena dianggap membahayakan, sosialisasi mulai dilakukan oleh
para petugas PT KAI. Cara ini dilakukan agar para Atapers tobat bila tidak akan terkena tamparan
pintu koboi. Awal mula dilakukan cara ini, para Atapers mulai takut terbentur barier yang
terbuat dari fiber. Namun pada perkembangannya justru para Atapers melakukan perlawanan dengan mematahkan
barier menggunakan kayu. Sujadi menuturkan bila cara ini efektif membuat barier
bengkok bahkan patah.
Atapers, foto istimewa
Tidak patah
semangat, lantas jajaran direksi PT KAI melakukan cara lain yaitu dengan memasang
bola-bola beton terutama di lintas Bekasi-Tambun dan Cikarang. Langkah terakhir
inilah yang sedikit efektif menghilangkan Atapers.
Terbilang efektif, PT KAI kemudian mengembangkan cara serupa di lintas
Maja-Rangkasbitung. Sujadi mengungkapka tidak hanya pada KRL, Atapers juga beraksi pada kereta-kereta lokal
jarak dekat misalnya Jakarta-Rangkasbitung dan Jakarta-Cikampek. Pemasangan
alat-alat beton berhasil menekan aksi Atapers namun diprotes karena dinilai
membahayakan oleh berbagai pihak yang membuat cara ini ditinggalkan.
Padahal menurut
aturan jelas-jelas melarang bagi para penumpang menumpang di atap gerbong
kereta. Pemerintah dan DPR
saat itu membuat aturan, larangan penumpang naik di atas atap kereta dan
dituangkan dalam Undang-undang (UU) Nomor. 23 Tahun 2007, tentang
Perkeretaapian. Dalam salah satu pasal Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2007
disebutkan, dilarang naik di atap kereta, disambungan kereta dan di kabin
lokomotif. Sangsi dari larangan tersebut adalah pidana selama tiga bulan penjara
atau denda Rp 300 juta. Namun nyatanya ancaman itu tidak diperhatikan para
penumpang KRL yang suka naik di atap kereta. Direktorat Jenderal Perkeretaapian
sebagai inisiator lahirnya Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2007, juga telah
berupaya maksimal untuk mengatasi masalah penumpang di atap kereta bersama PT
KAI, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Langkah
lanjutannya adalah dengan menggandeng petugas keamanan dari Kesatuan Marinir
dan Brimob. Cara ini mulai dilakukan pada Desember 2012. Marinir dan Brimob
seperti diutarakan Sujadi mulai melakukan penertiban kepada para Atapers.
Sayangnya lagi-lagi para Atapers bertindak brutal dengan menyerang para
petugas keamanan. Saat mereka sampai di stasiun, Atapers bergegas melakukan perlawanan
dengan melempari petugas dengan batu hingga botol yang sudah mereka simpan di
dalam tas. Kejadian ini melebar hingga puncaknya terjadi di Stasiun Depok.
Cara-cara
tersebut tidak dapat menghentikan ulah para Atapers. Apalagi
para Atapers berani melawan petugas keamanan. Maka mau tidak mau cara yang bisa
dilakukan adalah “Penggantian rangkaian KRL Ekonomi dengan KRL AC. Dengan
penggantian rangkaian, maka masalah akan selesai,” sebut Sujadi.
Sujadi
menerangkan dari segi teknis, KRL Ekonomi lebih rendah dibanding KRL AC,
sehingga ada celah untuk para penumpang menghindar karena jarak antara LAA
dengan badan penumpang di atas pun cukup jauh. Sedangkan KRL AC, secara teknis
keretanya lebih tinggi. Selain itu jarak antara atap dengan pantograf dengan
kawat LAA lebih pendek atau lebih dekat, sehingga celah untuk penumpang naik di
atap akan berkurang. Maka
mulailah wacana untuk menghilangkan KRL Ekonomi Non AC. Hal itu benar-benar
direalisasikan setelah PT Kereta Commuter Jabodetabek resmi menghapus seluruh
kereta rel listrik (KRL) ekonomi Non AC sejak 25 Juli 2013.