PT MRT Jakarta beroperasi secara komersial pada bulan April 2019, atau belum genap setahun. Namun dari segi keuangan, MRT Jakarta diklaim sudah untung Rp 60 miliar.
Hadirnya MRT Jakarta memang disambut positif oleh masyarakat DKI Jakarta. Buktinya, jumlah penumpang MRT Jakarta yang awalnya ditargetkan hanya 65.000 per hari, realisasinya mencapai 90.000 penumpang. Total, sudah 20 juta penumpang MRT Jakarta hingga 26 November 2019. Jumlah penumpang itu tentu menambah penghasilan MRT Jakarta dari segi pembelian tiket atau farebox.
Namun selain dari tiket, MRT Jakarta juga mendapatkan tambahan pemasukan dari nontiket seperti iklan sampai penamaan stasiun atau naming rights. Amunisi pendapatan tambahan lainnya datang dari subsidi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta.
Jadi begini, MRT Jakarta mendata pendapatan yang mereka terima dari penjualan tiket sebesar Rp 180 miliar. Sementara itu, dari naming rights ditambah dengan iklan dan penyewaan ritel totalnya mencapai Rp 225 miliar. Sedangkan anggaran subsidi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta totalnya Rp 560 miliar. Jika ditotal, pendapatan MRT Jakarta mencapai Rp 965 miliar.
Hanya saja, Direktur Utama MRT Jakarta William Syahbandar mengungkapkan sejauh ini pihaknya sudah mendapatkan pemasukan mencapai Rp 1 triliun. Dengan kata lain masih ada pendapatan tambahan lain yang tidak dijelaskan detail. Di sisi yang lain, jumlah pengeluaran MRT Jakarta mencapai Rp 940 miliar.
"Sehingga kita dapat laba bersih sekitar Rp 60 miliar sampai Rp 70 miliar,” kata William.
Baca juga: Hore! Ada Usulan MRT Jakarta Diperpanjang Sampai Tangerang Selatan
MRT Jakarta Akan Dorong Pendapatan Non Tiket
Ke depan, MRT Jakarta akan mendorong pendapatan lebih besar dari non tiket atau non farebox seperti dari iklan yang saat ini sudah bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp 124 miliar. Tidak hanya iklan, permintaan penyewaan tempat usaha ritel dan UMKM di dalam stasiun MRT Jakarta juga terus naik namun nilainya tidak terlalu besar.
Sejauh ini, yang bisa diandalkan dari pendapatan non farebox adalah penamaan stasiun atau naming rights. Naming rights adalah sebuah skema bisnis inovatif dimana kemitraan dibentuk antara MRT Jakarta dengan perusahaan-perusahaan terpilih dalam hal perolehan hak atas nama stasiun-stasiun MRT Jakarta. Bisnis naming rights telah diterapkan di metro-metro terbaru dunia misalnya Dubai Metro, Chicago Metro, Metro Boston, London Underground, Delhi-Gurgaon, Philadelphia Subway, Métro de Montréal, dan lain-lain.
Skema bisnis naming rights di MRT Jakarta dibentuk selama periode 10 tahun dimana perusahaan-perusahaan terpilih memperoleh hak untuk menggunakan nama merek di jaringan rambu atau marka penunjuk arah dan rambu nama stasiun di stasiun-stasiun yang terpilih sesuai dengan ketentuan.
Baca juga: Cikarang-Balaraja Ditargetkan Akan Terhubung MRT di 2026
Sejauh ini ada empat stasiun yang namanya diikuti dengan identitas perusahaan. Stasiun tersebut adalah, Lebak Bulus Grab, Setiabudi Astra, Dukuh Atas BNI, dan Istora Mandiri. Ini artinya pemenang lelang yang diselenggarakan oleh MRT Jakarta adalah PT Astra International, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Hasilnya, MRT Jakarta mampu meraup pendapatan dari naming rights sekitar Rp 33 miliar.
Selain empat stasiun itu, ada satu lagi yang baru saja diberi identitas, yakni Stasiun ASEAN. Namun, nama itu diberikan cuma-cuma alias gratis karena permintaan langsung dari Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi.
Terakhir, segala pendapatan MRT Jakarta juga harus diiringi dengan beban yang ditanggung. Komponen beban tersebut diantaranya adalah pelatihan pengembangan, operasional kantor, pemeliharaan, outsourcing, jasa konsultan dan asuransi, energi dan utility, sewa kantor dan kendaraan, sampai gaji dan tunjangan.