Beroperasinya KRL Yogya-Solo tidak hanya memberikan peningkatan aksesibilitas dan memudahkan integrasi dalam bertransportasi. Namun, akan memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi warga di Yogyakarta, Klaten dan Solo.
Pemda yang dilewati mestinya betul-betul dapat memanfaatkan keberadaan moda transportasi ini sebagai peluang meningkatkan perekonomian di daerahnya.
Baca Artikel: Info Lengkap KRL Yogya-Solo yang Sudah Beroperasi Komersial
Warga Yogyakarta, Klaten dan Solo akan memiliki layanan Kereta Rel Listrik seperti yang ada di Jabodetabek. Tanggal 10 Februari 2021 merupakan salah satu hari bersejarah operasi kereta di lintas Yogyakarta-Solo, pertama kali beroperasi KRL secara komersial. Setelah beberapa waktu sebelumnya dilakukan masa uji coba.
Kereta Rel Listrik (disingkat KRL) merupakan kereta rel yang bergerak dengan sistem propulsi motor listrik. Di Indonesia, kereta rel listrik beroperasi di Kawasan Jabodetabek, dan merupakan kereta yang melayani para komuter (penglajo). Saat ini sudah mampu mengangkut 1,2 juta penumpang per harinya. Namun di masa pandemi ada pengurangan kapasitas angkutnya.
Di zaman Hindia Belanda, kereta rel listrik pertama kali digunakan untuk menghubungkan Batavia dengan Jatinegara atau Meester Cornelis tahun 1925. Pada waktu itu digunakan rangkaian kereta rel listrik sebanyak 2 kereta, yang bisa disambung menjadi 4 kereta, yang dibuat oleh Werkspoor dan Heemaf Hengelo.
Sebelumnya, lintas Kutoarjo-Yogyakarta-Solo dilayani KA Prameks. Untuk lintas Yogyakarta-Surakarta singgah di 6 stasiun, yaitu Stasiun Kutoarjo, Stasiun Tugu, Stasiun Lempuyangan, Stasiun Maguwo, Stasiun Klaten, Stasiun Purwosari dan Stasiun Solo Balapan.
Setelah ada pelayanan KRL Yogya-Solo akan singgah di 11 stasiun elektrifikasi, yaitu Yogyakarta, Lempuyangan, Maguwo, Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, Gawok, Purwosari, Solo Balapan. Ada tambahan 6 stasiun untuk disinggahi. Selanjutnya, KA Prameks hanya melayani lintas Kutoarjo-Yogyakarta.
Untuk kelancaran operasional KRL Yogya-Solo dibutuhkan lima sumber daya PLN dan delapan gardu listrik. Sementara, persiapan pengoperasian elektrifikasi Yogyakarta–Solo, ada sejumlah perlintasan sebidang yang sudah rambu WCM (Wire Caution Marker) atau rambu penanda listrik aliran atas, terpasang 108 WCM.
Elektrifikasi lintas Yogyakarta-Solo membutuhkan biaya Rp 1,2 triliun selama dua tahun anggaran. Rata-rata Rp 50 miliar per km. Proses pembangunan KRL Yogyakarta – Solo dimulai 2011 dengan dilakukan Studi Kelayakan Pembangunan Elektrifikasi Lintas Kutoarjo–Yogyakarta–Solo.
Selanjutnya tahun 2012 dilakukan Detail Engineering Design. Tahun 2019 dimulai pekerjaan konstruksi Pembangunan Elektrifikasi Segmen Stasiun Tugu Yogyakarta–Stasiun Klaten. Berikutnya tahun 2020, pengoperasian elektrifikasi segmen Stasiun Tugu Yogyakarta–Stasiun Klaten dan pembangunan segmen Stasiun Klaten–Stasiun Solo Balapan. Tahun 2021 mulailah pengoperasian elektrifikasi Lintas Yogyakarta–Solo Balapan.
KRL Yogya-Solo/Dok: Djoko Setijowarno |
Selama masa pembangunan tentunya ada sejumlah tantangan, seperti banyaknya jaringan kabel listrik yang melintas di jalur KA, adanya penertiban lahan di jalur simpang di Stasiun Klaten, perubahan desain track layout empalsemen Stasun Solo Balapan, pengadaan material impor jadi terlambat saat pandemi COVID-19.
Harapan dengan pengoperasian KRL ini adalah meningkatkan pelayanan jasa angkutan penumpang KA, meningkatkan keselamatan lalu lintas perjalanan KA, meningkatkan pelayanan aksebilitas dan mobilitas antar moda serta keselamatan dan kenyamanan pengguna jasa, kinerja pengoperasian yang lebih baik, bebas polusi udara dan suara, kapasitas penumpang dapat lebih banyak. Selain itu dapat juga meningkatkan jumlah pelancong domestik dan mancanegara untuk menikmati potensi wisata di sekitar Yogyakarta, Klaten dan Solo.
Surakarta–Yogyakarta yang dapat ditempuh dalam waktu 1 jam 50 menit dengan jalur darat. Dengan KRL Yogya Solo (60 kilometer), akan ditempuh dalam 1 jam 8 menit (68 menit). Berarti perjalanan dengan KRL Yogya Solo akan menghemat waktu sekitar 34 menit.
Warga Klaten akan semakin besar peluang untuk menikmati layanan kereta komuter ini. Pasalnya, enam stasiun kecil yang selama ini dilewati KA Prameks, sekarang aktif kembali untuk melayani penumpang yang akan menggunakan KRL. Ke enam stasiun itu terakses dengan jaringan angkutan pedesaan.
Sayangnya, sekarang angkutan pedesaan di Klaten mati suri dan bahkan sulit untuk bangkit kembali tanpa ada pertolongan dari pemerintah. Sesungguhnya Kab. Klaten sangat memerlukan pelayanan angkutan pedesaan. Terutama dengan adanya KRL dan di bukanya 6 stasiun di Kab Klaten.
Pengusaha angkutan pedesaan di Klaten tidak tertarik. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan adanya skema pembelian layanan atau buy the service untuk angkutan umum pedesaan, seperti halnya yang sudah berlangsung untuk angkutan umum perkotaan.
Informasi dari Dinas Perhubungan Kab. Klaten, sekitar 200 armada yang terdaftar beroperasi. Namun yang beroperasi setiap hari sudah tidak sampai 10-120 persen disbanding 10 tahun lalu. Penduduk Kab. Klaten sekarang sudah mencapai sekitar 1,5 juta jiwa.
Wisata pedesaan dan kuliner di Kab. Klaten cukup pesat perkembangannya akhir-akhir ini, seperti Wisata Mata Air Cokro, Umbul Pongok, Cokro Umbul Ingas. Juga kuliner pedesaan, seperti Sate Kambing Pak Suli, Bebek Goreng Pak Tohir, Bale Tirto Resto, Kafe Kopi Sawah, Wedang Kopi Prambanan, Warung Apung Rowo Jombor, Omah Eyang Resto.
Integrasi
Semula sebelum dibangun jalan layang (fly over) Purwosari, sudah tersedia halte bus Batik Solo Trans (BST) terintegrasi dengan Stasiun Purwosari. Sekarang, sudah beroperasi BTS dengan skema pembelian layanan (buy the service), fungsi halte BST yang terintegrasi dengan Stasiun Purwosari dapat diaktifkan (bus sedang dan bus besar).
Integrasi fisik tidak sekedar menyediakan halte bus di luar halaman stasiun, namun jika memungkinkan area halaman stasiun cukup luas dapat dimasuki bus umum, tidak ada salahnya untuk dilakukan itu. Mendekatkan penumpang transportasi umum untuk berpindah moda.
Di sisi lain, layanan di Surakarta masih memungkinkan ada tambahan stasiun, yaitu Stasiun Manahan yang dekat dengan pusat kota Surakarta (dekat fly over Manahan).
KRL Yogya-Solo/Dok: Djoko Setijowarno |
Catatan Penting
KRL Yogyakarta-Solo menginspirasi untuk membangun hal serupa kereta perkotaan di wilayah perkotaan lainnya, seperti Surabaya Perkotaan (Surabaya-Lamongan, Surabaya-Sidoarjo dan Surabaya-Mojokerto), Bandung Perkotaan (Padalarang-Bandung-Rancaekek), Semarang Perkotaan (Gubug-Semarang-Weleri). Layanan KRL Yogya-Solo dapat diperpanjang hingga Kutoarjo, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA), Bandara Internasional Adi Sumarmo dan Sragen. Layanan KRL Yogya-Solo dapat terintegrasi dengan Bus Trans Yogya dan Bus Batik Solo Trans (BST).
Integrasi tidak hanya fisik, melainkan integrasi jadwal, sistem pembayaran (single trip ticket) dan layanan. Kota Klaten harus didukung pula dengan transportasi umumnya (saat ini belum ada).
Konektivitas atau keterhubungan fisik berupa jembatan penghubung antara Terminal Ir. Soekarno dengan Stasiun Klaten dapat dilakukan seperti halnya jembatan penghubung antara Terminal Tirtonadi dan Stasiun Solo Balapan di Surakarta.
Integrasi tidak hanya sesama kendaraan bermotor, namun juga dengan kendaraan tidak bermotor (non motorized), seperti pesepeda dan pejalan kaki. Perbaikan fasilitas pesepeda dan pejalan kaki di Yogyakarta, Klaten dan Surakarta.
Pemberian fasilitas parkir sepeda di setiap stasiun dan sepeda dibolehkan dibawa ke dalam KRL Yogya–Solo. Tentunya dalam jumlah yang dibatasi untuk setiap unit kereta.
Selanjutnya, perlu dipikirkan bagi warga sejak dari asal keberangkatan hingga tujuan menggunakan transportasi umum. Boleh berganti moda transportasi umum dan dapat berlangganan akan mendapatkan tarif yang lebih murah dari biasanya. Tarif langganan per minggu atau per bulan.
Tentang Penulis:
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat.