Siapa sangka, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung harusnya digarap oleh Jepang, bukan China. Berikut ini ceritanya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung masih menjadi polemik terutama mengenai pembengkakan anggaran. Sebagaimana diketahui, proyek ini awalnya hanya membutuhkan investasi UD6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi USD8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.
Meski membengkak, tapi estimasi ini sedikit turun dari perkiraan awal yang mencapai USD8,6 miliar atau Rp122,8 triliun. Biaya bengkak karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun.
Baca Artikel: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Keren sih tapi Anggaran Bengkak Terus, Ini Analisisnya
Baca Artikel: Naik Kereta Cepat Jakarta-Bandung Hanya 36 Menit, Berikut Penjelasan KCIC
Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020. Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun.
Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.
Sebagai informasi, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membentang sepanjang 142,3 km dan ditargetkan rampung pada akhir 2022 nanti. Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini akan melalui empat stasiun di antaranya Halim (Jakarta Timur), Karawang, Walini, dan Tegalluar (Bandung).
Sekitar 58 persen jalur kereta cepat akan dibangun menggunakan struktur layang dan melalui 13 terowongan yang tersebar di beberapa titik.
Nantinya kereta cepat ini akan melaju hingga kecepatan 350 km per jam dengan estimasi waktu keberangkatan antara Jakarta-Bandung hanya berkisar 46 menit.
Kereta cepat Jakarta-Bandung ini akan mampu menampung 601 penumpang yang terdiri atas 18 penumpang VIP, 28 penumpang kelas 1, dan 555 penumpang kelas dua dalam satu keberangkatan.
Pembangunan kereta cepat juga akan diintegrasikan dengan Transjakarta dan LRT Jabodebek untuk meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas penumpang.
Selain menimbulkan polemik yang terjadi saat ini, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memang sudah bermasalah di awal. Itu terjadi karena harusnya proyek ini digarap oleh Jepang.
China berhasil tikung Jepang di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung/Dok: KCIC |
China berhasil "menikung" Jepang sebagai mitra pemerintah dalam membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Awalnya, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) telah menggelontorkan modal sebesar USD3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan (feasibility study).
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai USD6,2 miliar, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Baca Artikel: Mau ke Bandung, Pilih Naik Kereta Cepat atau Argo Parahyangan?
Baca Artikel: Pemerintah akan Suntik Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Rp8,4 Triliun
Namun, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama, setelah eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2015.
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar USD5,5 miliar dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun serta bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Dan akhirnya China memenangkan hati pemerintah Indonesia dalam membangun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.